Jakarta – Agustus 1945 adalah periode puncak yang menandai berakhirnya teater Perang Pasifik antara pihak sekutu yang dipimpin Amerika Serikat (AS) melawan Jepang. Peristiwa yang terus dikenang tertuju pada operasi pengeboman di dua kota, yakni Hiroshima pada 6 Agustus dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang menewaskan dan melukai ratusan ribu manusia. Selain itu, efek radiasi dari senjata nuklir juga membekas dalam waktu yang lama.
Pemandangan mengerikan yang tidak tergambarkan itu membuat moril tentara Jepang runtuh seketika. Padahal sebelumnya, pasukan Jepang dikenal selalu tampil habis-habisan dalam setiap pertempuran. Mereka tidak segan untuk bunuh diri dari pada harus menyerah. Pertempuran Saipan misalnya, dengan amat jelas memperlihatkan watak pantang menyerah tentara Jepang. Pihak sekutu baru bisa menaklukkan Jepang setelah melalui pertempuran selama berminggu-minggu.
Buku berjudul Perang Pasifik karya PK Ojong menyebutkan jumlah pasukan Jepang saat pertempuran Saipan sebanyak tiga puluh dua ribu. Dari jumlah tersebut, pasukan Jepang yang berhasil di tawan hanya kurang dari seribu tentara. Sedangkan perang besar di Okinawa terkenal sebagai pertempuran dengan operasi amfibi besar-besaran dan menghasilkan jumlah kematian yang tinggi.
Dalam pertempuran Okinawa, Jepang juga memperlihatkan strategi peperangan yang amat brutal, yaitu taktik Kamikaze (serangan bunuh diri dengan pesawat). Lebih dari 1000 pesawat dilibatkan dalam taktik tersebut. Sebenarnya masih banyak pertempuran lain yang menjadi bagian dari rangkaian Perang Pasifik, seperti pertempuran Iwo Jima, Midway, dan lainnya yang tidak akan cukup diringkas dalam tulisan ini.
Indonesia juga tidak luput menjadi arena pementasan Perang Pasifik, dan bukan satu-satunya wilayah di luar Jepang yang dijadikan area operasi pertempuran Pasifik. Filipina, Papua Nugini, dan beberapa wilayah di kepulauan Pasifik juga tidak luput dijadikan arena pertempuran. Fakta ini memperlihatkan bahwa Perang Pasifik berlangsung secara berjilid-jilid, dengan cakupan operasi yang luas yang tidak hanya terjadi di daratan, tetapi juga di lautan. Dijatuhkannya bom di Hiroshima dan Nagasaki ialah konklusi untuk menutup jilid peperangan tersebut. Jepang kemudian menyerah pada sekutu pada 15 Agustus 1945.
Dampak bagi Indonesia
Lalu apa dampak menyerahnya Jepang untuk Indonesia? Sejujurnya, pertanyaan tersebut kadang melahirkan jawaban yang menyedihkan. Orang yang tidak paham sejarah, dengan mudah menebar analisis yang menyimpulkan bahwa kemerdekaan Indonesia lebih besar dipengaruhi oleh menyerahnya Jepang terhadap sekutu. Bahkan tidak sedikit di antaranya menyatakan kemerdekaan Indonesia ialah hadiah dari Jepang atau pemberian pihak sekutu secara tidak langsung.
Pernyataan itu tentu terlalu dangkal, sepihak, dan yang paling fatal ialah menihiikan heroisme para pahlawan. Alur sejarah tidak tunduk terhadap pola sederhana, dan analogi parsial semacam itu. Bahwa terdapat pengaruh dari faktor luar termasuk menyerahnya Jepang terhadap sekutu dalam Perang Pasifik, itu dapat diterima. Tetapi menjadikannya sebagai sebab tunggal namanya over simplifikasi.
Jepang memang menjanjikan kemerdekaan, tetapi bersifat semu-terselubung dengan harapan rakyat Indonesia membantunya dalam Perang Pasifik. Janji-janji tersebut sudah sering diutarakan sejak tahun 1944, dan nyatanya tidak satu pun yang menjadi kenyataan.
Sementara di sisi lain, serangan pihak sekutu terhadap Jepang dalam Perang Pasifik sama sekali tidak ditujukan untuk memerdekakan wilayah yang diduduki Jepang. Bahkan ketika Belanda kembali berusaha untuk mengambil alih kekuasaannya di Indonesia, pihak sekutu sama sekali bergeming. Jadi kedua asumsi yang menyatakan “kemerdekaan hadiah dari Jepang” dan “kemerdekaan pemberian sekutu” hanyalah asumsi yang menjauh dari fakta-fakta sejarah.
Sekali lagi, Indonesia memang memanfaatkan momentum kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan. Dan itu harus dipandang sebagai bagian dari perjuangan yang brilian dan murni.
Brilian, karena setiap upaya yang ditempuh menuju proklamasi kemerdekaan tidak sampai menimbulkan perpecahan, padalah di dalamnya terdapat dinamika antara golongan muda yang dikomandoi Sukarni, Chairul Saleh, dkk dengan golongan “setengah tua” yang digawangi Sukarno-Hatta. Perjuangan tersebut juga murni, karena dalam prosesnya tidak terikat oleh janji, tekanan, serta persetujuan dari pihak manapun, tidak terkecuali Jepang. Dan memang demikianlah kenyataannya.
Menyatukan Kepingan Perjuangan
Kita harus melihat sejarah perjuangan yang dilakukan oleh para pendahulu secara utuh dan holistik. Jangan sampai ada bab yang tertinggal. Jangan pula melihat kemerdekaan hanya melalui pendekatan temporalistik yang terpaku pada periode lahirnya perasaan kebangsaan yang ditandai dengan sumpah pemuda sampai sekitar periode proklamasi dikumandangkan.
Karena sejarah berlangsung dengan hukum sebab-akibat, maka lahirnya Sumpah Pemuda, lahirnya nasionalisme, atau perasaan kebangsaan, adalah akibat dari persamaan nasib (penderitaan) kehidupan di bawah campur tangan asing, yang kemudian melahirkan gagasan untuk hidup dan berjuang bersama.
Kita tentu tidak ingin meletakkan perjuangan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu seperti dalam Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1904), dan peperangan sengit lain yang terjadi di berbagai daerah di Nusantara sebagai perjuangan yang terpisah dari wacana sejarah nasional kita hari ini.
Itu pun belum termasuk perlawanan dan pertempuran kecil lain di berbagai daerah yang harus terus digali dan dicatat untuk ditempatkan dalam gambar besar perjuangan melawan hegemoni penjajah. Upaya-upaya tersebut, meskipun terjadi dalam aspek temporal yang berbeda-beda, dan belum dilakukan dalam komando secara terpusat, tetapi mengandung substansi yang sama, yakni sebagai ekspresi kerinduan akan kehidupan merdeka, yang bebas dari bayang-bayang kolonialisme. Dengan kata lain, proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 bukan peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan kelanjutan dari setiap upaya yang pernah dilakukan pada masa lampau lewat berbagai pertempuran. Proklamasi kemerdekaan ialah puncak kerinduan bangsa Indonesia akan kemerdekaan yang telah lama diperjuangkan.
Sejak itu, untuk yang pertama kalinya dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia, segala sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuatan asing hilang secara tiba-tiba. (Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern). Tetapi kondisi tersebut juga tidak berlangsung lama. Musababnya ialah kedatangan sekutu bersama Belanda yang hendak menegakkan kembali praktik kolonialnya. Indonesia harus kembali melalui masa genting, termasuk harus mengalami peristiwa pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Yogyakarta.
Berbagai peristiwa yang menyertai upaya mempertahankan kemerdekaan yang terhitung sejak Oktober 1945 sampai Desember 1949 tersebut tidak hanya terjadi dalam arena pertempuran fisik (Perang 10 November, Palagan Ambarawa, Peristiwa Bandung Lautan Api, Serangan Umum 1 Maret 1949, Perang Puputan Margarana, dan Medan Area), tetapi juga melalui upaya diplomasi di antaranya Perundingan Linggarjati, Hoge Veluwe, Roem-Royen, Renville, dan dipuncaki oleh Konferensi Meja Bundar (KMB).
Tulisan ringkas ini tentu tidak mampu untuk mencerminkan detail-detail mengenai kompleksitas dan kesukaran perjuangan para pemimpin republik dalam merespons kegentingan situasi yang terjadi saat itu. Bahkan beberapa pakar memilih untuk fokus menyoroti bagian tertentu dalam periode perang kemerdekaan, seperti yang ditemukan dalam buku karya Prof. R.Z Leirissa berjudul Kekuatan Ketiga dan buku Renville karya Ide Anak Agung.
Membaca buku-buku tersebut membuat kita mengetahui tentang bagaimana strategi dan kecermatan para pemimpin saat itu dalam melangkah dan mengambil keputusan. Tetapi mendalaminya, tidak diragukan membuat suasana batin menjadi haru. Hal ini karena di tengah segala keterbatasan dalam aspek persenjataan dan tekanan situasi, para pemimpin republik saat itu tetap konsisten menunaikan janji setia kepada proklamasi kemerdekaan.