Jakarta – Dua bulan setelah pulih dari Covid-19, Muhammad Raditya Akbar, 13 tahun, mengikuti sekolah tatap muka di sekolahnya, pada Rabu, 18 Agustus 2021.
Pelajar yang baru lulus SD itu kini menjadi murid kelas 1 di MTs Negeri 8 Banyuwangi. Ia hanya belajar selama 2,5 jam. Ruang kelasnya juga hanya diisi setengah dari total siswa. Melihat Akbar sudah berkegiatan di sekolah, Pusmaya Ayu, kakak Akbar, mengaku cemas. “Khawatir sih aku sebenarnya, karena kan susah ya anak-anak itu taat protokol kesehatan,” kata Maya kepada Tempo, Rabu, 18 Agustus 2021.
Selain karena protokol kesehatan, Maya khawatir karena adiknya belum divaksin. Ia berharap Akbar masuk sekolah setelah mendapat vaksinasi Covid-19. Apalagi, adiknya sempat tertular Covid-19 ketika acara kelulusan SD di sekolahnya pada Juni lalu.
Sekolah Akbar memang sudah mendata murid-murid yang belum divaksin. Namun, setelah itu belum ada kelanjutan apakah akan diadakan vaksinasi atau tidak.
Dibolehkannya anak-anak yang belum divaksin untuk mengikuti sekolah tatap muka terbatas memang mendapat izin dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim.
Izin tersebut diberikan untuk sekolah yang berada di wilayah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM level 1-3.
“Bagi sekolah yang peserta didiknya belum mendapatkan giliran vaksinasi, sekolah di wilayah PPKM level 1-3 tetap dapat menyelenggarakan PTM terbatas,” kata Nadiem dalam keterangannya, Kamis, 19 Agustus 2021.
Nadiem meminta agar penyelenggaraan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas mengedepankan prinsip kehati-hatian, kesehatan, dan keselamatan insan pendidikan dan keluarganya.
Kendati begitu, pernyataan Nadiem ini dikiritik sejumlah organisasi guru. Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menilai pernyataan Nadiem kontradiktif dengan pesan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Dalam kunjungan kerja ke Madiun pada Kamis, 19 Agustus 2021, Jokowi mempersilakan opsi PTM terbatas digelar apabila seluruh pelajar telah mendapatkan vaksinasi Covid-19.
“Kenapa Mas Menteri beda sendiri? Saya mengatakan ini bentuk nyata bahwa koordinasi antarkementerian ini lemah,” kata Satriwan.
Vaksinasi sebetulnya bukan satu-satunya syarat agar bisa melakukan PTM. Satriwan menyebutkan setidaknya ada empat prasyarat, yaitu sekolah memenuhi daftar periksa Kemendikbudristek mengenai kesiapan tatap muka, vaksinasi guru dan anak, izin orang tua murid, dan positivity rate di daerah tersebut.
Menurut Satriwan, mengizinkan anak melakukan PTM terbatas di sekolah tetap berisiko. Apalagi, progres vaksinasi anak usia 12-17 tahun masih rendah. Berdasarkan dashboard Kementerian Kesehatan per 21 Agustus 2021, dari target 26,7 juta anak, baru 9,17 persen atau 2,4 juta anak menerima vaksinasi dosis pertama. Sedangkan 4,49 persen atas 1,19 juta anak telah menerima dosis lengkap.
Selain itu baru 57 persen sekolah di seluruh Indonesia yang mengisi daftar periksa Kemdikbudristek. Sekolah yang mengisi pun belum tentu sudah diasesmen pemerintah daerah. Menurut Satriwan hal ini menjadi gambaran bahwa sarana dan prasarana, serta infrastruktur penunjang protokol kesehatan sekolah-sekolah belum siap.
DKI, misalnya, telah melakukan asesmen ke sekolah-sekolah yang mengisi daftar periksa Kemendikbudristek. Selain itu, cakupan vaksinasi guru dan anak di DKI juga terbilang cukup tinggi.
Satriwan mengatakan, sebanyak 96 persen guru dan 87 persen anak usia 12-17 tahun di DKI telah divaksin. Meski sebagian besar sekolah telah siap menggelar tatap muka, Pemprov DKI belum mengizinkan PTM terbatas karena masih PPKM level 4, serta tingginya angka positivity rate.
Sedangkan di daerah yang menerapkan PPKM level 1-3, Satriwan mengakui kasus Covid-19 relatif sudah menurun. Namun, ia mempertanyakan kesiapan sekolah, izin orang tua murid, dan positivity rate di wilayah tersebut.
Satriwan mengimbau pemerintah daerah, orang tua murid, dan masyarakat tidak euforia dengan dibukanya sekolah. Pasalnya, ada banyak temuan pelanggaran saat PTM terbatas. Misalnya, ketentuan 25 persen populasi murid yang masuk, tapi nyatanya 50 persen. Kemudian durasi tatap muka yang mestinya 2 jam, tapi ada temuan 4 jam.
“Ada yang masuk seminggu tiga kali, kami dapat laporan. Ada 3-4 jam, ada yang 50 persen. Tidak ada yang 25 persen sebagaimana keterangan Menkes,” ujar Satriwan.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, juga menilai kebijakan Nadiem bisa menimbulkan kontroversi di kalangan pendidik. Pembelajaran jarak jauh diakui tidak efektif, sehingga sekolah diminta segera melakukan PTM terbatas.
“Banyak sekolah di daerah yang belum menerima vaksinasi. Jaringan FSGI di Jambi, misalnya, menyampaikan belum ada satu pun peserta didiknya yang divaksin. Vaksinasi Covid-19 bagi orang dewasa di sana juga belum tuntas.” papar Heru Purnomo.
“Kalau kondisi vaksin yang ada tidak mencukupi, maka ketika nanti dipaksakan sebagian divaksin dan menyusul akan jadi repot. Ada kendalanya,” kata Heru.
FSGI pun merekomendasikan agar sekolah tatap muka terbatas dilakukan apabila 70 persen warga satuan pendidikan, khususnya siswa, telah tervaksinasi. Dengan begitu, kegiatan PTM di sekolah nantinya dapat terlindungi dengan adanya kekebalan kelompok, meski tidak menjadi jaminan 100 persen terbebas dari ancaman Covid-19.
(sumber : TEMPO.CO)